Bandar Lampung-Sebuah kisah perjuangan hak buruh terungkap menyusul pemecatan sepihak terhadap 40 pekerja perempuan oleh PT Philip pada Agustus 2022. Kasus ini bukan sekadar persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK) semata, melainkan puncak dari perjuangan panjang yang telah dimulai sejak tahun 2009, di mana para pekerja ini berupaya mendapatkan pengakuan sebagai pekerja tetap dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Namun, usaha mereka untuk mendapatkan kejelasan status pekerjaan terabaikan, tanpa ada respons yang berarti dari pihak perusahaan. Keadaan semakin memburuk pada September 2022 ketika para pekerja di-rumahkan tanpa penjelasan yang jelas, sebuah langkah yang diikuti oleh penilaian kinerja pada November 2022. Penilaian ini, sayangnya, menjadi dasar untuk pemecatan massal yang dipertanyakan keabsahannya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, yang mewakili para pekerja, menilai bahwa tindakan perusahaan ini melanggar hak-hak buruh sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, khususnya pasal 28D ayat (2) yang menjamin perlindungan pekerjaan yang layak bagi setiap warga negara.
Sidang yang berlangsung pada 1 Februari menampilkan kesaksian dari Agus Triono, S.H., M.H., Ph.D., seorang ahli hukum administrasi dari Fakultas Hukum Universitas Lampung. Dalam kesaksiannya, Dr. Triono menjelaskan detail tentang hukum ketenagakerjaan, kontrak kerja, dan kondisi yang memungkinkan sebuah perusahaan untuk melakukan PHK. Salah satu poin penting yang dibahas adalah interpretasi frasa "perusahaan tutup" sebagai alasan PHK karena efisiensi, yang sering kali disalahartikan atau disalahgunakan oleh perusahaan untuk menghindari tanggung jawab hukum mereka terhadap pekerja.
Baca juga:
Anies Baswedan di Mata Seorang Surya Tjandra
|
Kasus ini membuka mata banyak pihak mengenai realitas keras yang dihadapi buruh, khususnya perempuan, dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Lebih dari itu, kasus ini menjadi simbol penting dalam perjuangan hak buruh di Indonesia, menyoroti perlunya pengawasan yang lebih ketat dan penerapan hukum yang adil untuk melindungi pekerja dari praktik ketenagakerjaan yang tidak etis.
Seiring berlanjutnya persidangan, publik menantikan keadilan yang akan diberikan kepada para pekerja perempuan ini. Kasus ini tidak hanya menguji integritas sistem peradilan di Indonesia dalam melindungi hak buruh, tetapi juga menjadi sorotan bagi perusahaan-perusahaan lain untuk mengintrospeksi praktik ketenagakerjaan mereka.
Dengan dukungan yang kuat dari berbagai pihak, termasuk organisasi hak asasi manusia dan masyarakat sipil, para pekerja ini berharap dapat mengakhiri perjuangan mereka dengan keadilan dan pengakuan atas hak-hak mereka sebagai pekerja. Kisah mereka bukan hanya cerita tentang perjuangan melawan ketidakadilan, tapi juga tentang keberanian, ketabahan, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi pekerja di seluruh Indonesia.